Hukum Berkurban untuk Orang yang Telah Meninggal Dunia

Assalamu’alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online yang terhormat, kami punya orang tua dan sampai meninggal belum pernah berkurban, kemudian kami selaku putera-puterinya bermusyawarah mengenai kurban untuk orang tua kami. Yang ingin kami tanyakan adalah apakah berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia itu boleh? Kami sangat berharap jawaban secepatnya dari redaksi bahtsul masail. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. (Maman/Jakarta)

---

Wa'alaikum Salam wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa hukum berkurban itu sendiri adalah sunnah muakkad. Tetapi khusus untuk Rasulullah saw hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan kepada sabda beliau, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi;

أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi).

Kesunnahan dalam hal ini adalahsunnah kifayah jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah kesunnahan yang lain, tetapi jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnah ‘ain.sedang kesunnahan berkurban ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.

وَالْاُضْحِيَة- ....(سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ

“Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588)

Sampai di sini tidak ada persoalan, tetapi persoalan kemudian muncul mengenai berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia. Biasanya hal ini dilalukan oleh pihak keluarganya, karena orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup belum pernah berkurban. Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.

وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا

“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, h. 321)

Setidaknya argumentasi yang dapat dikemukakanuntuk menopang pendapat ini adalah bahwa kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, niat orang yang berkurban mutlak diperlukan.

Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi. Alasan pandangan ini adalah bahwa berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406)

Di kalangan madzhab Syafi’i sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahih (ashah) dan dianut mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan mayoritas ulama madzhab syafi’i, namun pandangan kedua didukung oleh madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hal ini sebagaimana yang terdokumentasikan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.

إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ

“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka madzhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut madzhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji” (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, h. 106-107)

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Jadikan perbedaan pandangan para ulama dalam masalah fikih sebagai rahmat.

Jika Anda dan saudara-saudara Anda ingin berkurban untuk orang tua yang telah meninggal dunia, maka berarti anda mengikuti pendapat ulama yang kedua, seperti dijelaskan di atas. Bahwa berkurban dalam hal ini dimaksudkan sebagai sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu’alaikum wr. wb

Mahbub Ma’afi Ramdlan

sumber: www.nu.or.id

Sejarah Singkat

Profil Pesantren
Pendidikan, baik formal, non-formal maupun informal, adalah bagian penting dari amanat konstitusi negara ini, seperti yang telah diamanatkan baik dalam pembukaan UUD ’45 maupun dalam batang tubuh UUD ’45 BAB XA Pasal 28C Ayat (1) dan (2), kemudian BAB XIII Pasal 31 ayat (1) maupun UU yang mengatur dibawahnya, seperti dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Pasal 8, Pasal 13 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan (2), Pasal 30 ayat (1), (2), (3) dan (4).Pasal 54 dan 55. Dalam prakteknya proses penyelenggaraan pendidikan dilaksakan atau diselengarakan oleh negara melalui pemerintah dan oleh masyarakat secara swadaya. 
Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat secara swadaya inilah banyak lahir sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah/ pesantren-pesantren yang kelahirannya diprakarsai oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat beserta para Kyai dan para ustadz yang merasa terpanggil untuk mengamalkan ilmunya dan sekaligus untuk turut mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur pendidikan. 
Pondok Pesantren salafi adalah salah satu tingkatan/jenjang pendidikan yang sudah sangat mengakar di Indonesia jauh sebelum masa kemerdekaan maupun pada masa-masa awal kemerdekaan sudah banyak bermunculan di negeri ini khususnya di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, hampir di setiap Kecamatan bahkan Desa terdapat pondok pesantren- pondok pesantren  yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Al-Manshuriyah yang beralamat di Kp. Nanggerang, Desa Salawu, Kec. Salawu, Kab. Tasikmalaya. Pesantren ini didirikan oleh tokoh masyarakat setempat yang bernama KH. Mansyur. 
Tujuan dari pendirian pondok pesantren ini sejak awalnya adalah untuk menyiapkan generasi-generasi muda yang berakhlakul karimah melalui proses pendidikan yang pada waktu itu pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang merata bagi warga negaranya untuk mengenyam pendidikan melalui jalur sekolah.
Pondok Pesantren Al Manshuriyah yang dirintis sejak tahun 1965 ini tetap berupaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat dengan mendirikan institusi-institusi dari Taman Kanak-Kanak Al Qur’an (TKA),  Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Diniyah Taqmiliyah (MDTA), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan SMK Al Manshuriyah (SMK) yang bernaung dibawah Yayasan Ponpes Al Manshuriyah.

A.    Data Pesantren
a)     Nama Pondok Pesantren         : Al-Manshuriyah
b)     Alamat                                   : Kp. Nanggerang RT. 027 RW. 004 Desa Salawu
  Kec. Salawu Kab. Tasikmalaya Kode Pos 46471
c)     No. Statistik Pesantren                  : 500032060204
d)     Penyelenggara                        : Yayasan Al-Manshuriyah Tasikmalaya
e)      Akta Pendirian Pertama                : H. Suryana, SH No. 20 Tahun 1988
f)       Akta Pendirian Terakhir          : Wawan Ridwan, SH, MKn. No. 25 Tahun 2013
g)     No. SK Kemenkumham          : AHU-1432.AH.01.04 Tahun 2013
h)     No.Telepon                            : +6285321896868
i)      Nama Pengasuh                     : Drs. KH. Ridwan Fuad, MA
j)      Tahun Berdiri                        : 1965
k)     Status Pondok Pesantren       : Terdaftar
l)      Jarak dari Ibu Kota                : ± 15 Km


m)   Status Tanah                       : Hak Milik
n)     Luas                                            : 1700 M2
o)     Kurikulum                          : Lokal Pesantren dan Kemenag.  
p)     Kegiatan                             : Pengajian Kitab Kuning, Tahfidz Tafsir AlQuran                                   
B.    Fasilitas
Fasilitas Pondok Pesantren yang dimiliki saat ini adalah sebagai berikut :
1)    Asrama Putra dan Putri sebagai tempat mukim para satriwan dan santriwati Ponpes Al-Manshuriyah sekaligus untuk menunjang ketertiban belajar mengajar, serta kedisiplinan dan kemandirian para santri.
2)    Madrasah untuk proses belajar mengajar bagi santri.
3)    Sarana beridabah bagi para santri/wati dan masyarakat sekitar yakni Masjid Al-Mukarromah
4)    Perpustakaan Pesantren.
5)    Sarana Olahraga.
6)    Tolilet santri/wati.
         
C.    Jumlah Guru dan Santri

1.  Jumlah Guru/Asatidz 
Jumlah tenaga pengajar sampai saat ini adalah 11 (sebelas) orang, berikut Pimpinan Ponpes. Hal ini disesuaikan dengan faktor usia anak didik serta mata pelajaran yang diberikan. (Susunan Pengurus terlampir).

2.  Jumlah Santri.
Sejak dibuka dan dirintis, jumlah santri meningkat secara perlahan. Hingga kini sudah berjumlah 598 orang santriwan/wati. Dikarenakan jenjang pendidikan ini bersifat sosial serta merangkul bagi orang tua yang menginginkan putera-puterinya memperdalam ilmu agama Islam, disamping itu faktor ekonomi keluarganya menengah kebawah.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More